Iklan

Iklan

Diduga Ada Alih Fungsi Ratusan Hektare Hutan Mangrove, Sayed Zainal Angkat Bicara

24JAMNews
04 Agustus 2025, 10:44 WIB Last Updated 2025-08-04T03:44:19Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

ACEH TAMIANG | 24jamtop.com : Seluas 300 hektare hutan lindung mangrove Kuala Genting, Alur Cina, Kecamatan Bendahara, dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit secara ilegal sejak akhir tahun 2024.


Hingga saat ini, unauthorized plantation (perkebunan ilegal) kelapa sawit terus berlangsung di sekitar Alur Cina tanpa ada tindakan hukum.


Pembukaan lahannya masif di Alur Cina. Dikhawatirkan, jika dibiarkan, luas hutan lindung mangrove yang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit di Aceh Tamiang akan semakin menyusut.


Saat ini, luas hutan mangrove mencapai 24.013,5 hektare, dengan rincian 18.904,26 hektare hutan produksi (HP) dan 5.109,24 hektare hutan lindung (HL).


Perlu diingat bahwa luas hutan mangrove di Aceh Tamiang mengalami penurunan signifikan akibat perambahan dan alih fungsi lahan untuk kegiatan industri perkebunan kelapa sawit dan pertambangan liar. Sebanyak 85 persen hutan mangrove di Aceh Tamiang dilaporkan rusak.


Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAhtari), Sayed Zainal M, SH yang melakukan investigasi bersama tim dari berbagai media, Minggu, 3 Agustus 2025, di Alur Cina, Kecamatan Bendahara.


Sayed melaporkan bahwa alih fungsi HL mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi di Alur Cina, tetapi juga di wilayah Kuala Genting bersebelahan dengan Kuala Peunaga seluas kurang lebih 600 hektare, yang berlangsung sejak tahun 2000.


“Tindakan ini sudah membabi buta dan brutal, tanpa memikirkan ekosistem mangrove terbesar di Provinsi Aceh. Dengan keanekaragaman 22 jenis pohon mangrove terlengkap di Indonesia, kawasan ini harus tetap dipertahankan,” jelas Sayed.


Ia menambahkan, mangrove memiliki nilai karbon kredit yang sangat tinggi dan dapat dijadikan destinasi wisata mangrove jika dikelola dengan baik dan benar.


Sayed meminta agar Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK) Wilayah Sumatera bertanggung jawab menindak pelanggaran dan kejahatan lingkungan hidup serta kehutanan di Indonesia.


Menurutnya, lembaga tersebut bekerja untuk memastikan keamanan lingkungan hidup, kawasan hutan, dan kekayaan keanekaragaman hayati melalui berbagai instrumen penegakan hukum.


“Jangan dibiarkan ini berlarut-larut. Harus ada tindakan hukum, bukan hanya sekadar datang ke lapangan, berfoto-foto, lalu membuat laporan. Sampai sekarang belum ada Ditjen Gakkum KLHK yang memajukan pelaku pembabatan HL mangrove ke meja hijau,” tegas Sayed.


Ia menegaskan, Ditjen Gakkum KLHK semestinya membentuk tim gabungan dengan melibatkan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang untuk memberantas praktik unauthorized plantation.


Sayed kembali menekankan bahwa Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera memiliki tanggung jawab besar dalam menegakkan hukum di sektor kehutanan. Ia menyebutkan, lembaga ini seharusnya menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal, mulai dari melakukan inventarisasi serta identifikasi terhadap potensi ancaman, gangguan, hingga pelanggaran hukum kehutanan. Selain itu, Balai Gakkum juga berkewajiban menangani berbagai pengaduan masyarakat terkait pelanggaran kehutanan, dengan cara mengumpulkan data dan informasi sebagai langkah awal pencegahan dan pengamanan hutan.


Tidak hanya itu, menurut Sayed, lembaga ini juga harus menindak tegas berbagai bentuk pelanggaran di bidang kehutanan serta melakukan pengawasan terhadap pemegang izin usaha atau persetujuan pemerintah. Terakhir, ia menegaskan pentingnya peran Balai Gakkum dalam memfasilitasi dan menyelesaikan sengketa kehutanan, sekaligus mengawasi kepatuhan para pemegang izin terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.


“Ini harus benar-benar dilaksanakan untuk meminimalkan kerusakan hutan mangrove yang lebih parah lagi. Jika tidak ditindaklanjuti, kami akan melaporkan kegiatan ini ke Ditjen Gakkum KLHK Pusat. Jika masih diabaikan, kami akan menggugat secara class action bersama elemen sipil lainnya akibat pembabatan dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit karena telatelanya merusak lingkungan,” pungkas Sayed.


SP.

Komentar

Tampilkan