Iklan

Iklan

dr. Aris Yudhariansyah: Di Saat Dunia Sunyi, Ia Menjadi Suara yang Berani Berdiri

24JAMNews
16 November 2025, 13:50 WIB Last Updated 2025-11-16T06:50:33Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

MEDAN | 24jamtop.com : Pada tahun ketika sirene ambulans menggantikan kicau burung dan televisi menyiarkan angka kematian setiap jam, Sumatera Utara berada dalam ketakutan yang tak pernah dikenal sebelumnya.

Jalan-jalan sepi.

Wajah-wajah tertutup masker.

Harapan terasa rapuh.


Di tengah kehampaan itu, ada satu panggung kecil yang setiap hari dinyalakan: sebuah meja konferensi pers, lampu kamera, dan seorang pria yang berdiri sendirian di depannya.

Namanya dr. Aris Yudhariansyah, Juru Bicara dan Public Relation Satgas Covid-19 Sumut. Sosok yang tak pernah mundur meski seluruh dunia seperti runtuh pelan-pelan.


Ketika setiap kata bisa memicu kepanikan, ia memilih untuk tetap bicara Di belakang kamera, dunia bergetar. Hoaks mengalir lebih cepat dari oksigen. Ketakutan menyebar seperti bayangan gelap yang tak bisa dikejar.


Namun setiap hari, ia berdiri.

Menatap kamera yang tidak menawarkan belas kasihan.

Menyampaikan informasi yang tidak selalu ingin didengar publik.

Dan melakukannya dengan suara yang stabil, meski dadanya sendiri penuh tekanan yang tak tampak.


Ada saat ketika ia harus menenangkan masyarakat dari isu lockdown mendadak.

Ada malam ketika ia mengoreksi grafik berulang kali hingga jarum jam lewat dua, tiga, empat pagi.

Ada hari ketika ia menerima puluhan pertanyaan sulit yang bisa mengubah arah kebijakan publik.


Dan di semua itu, ia tetap memilih untuk hadir.


Sebuah perang yang tidak terlihat mata, namun menuntut keberanian luar biasa

Tidak banyak yang tahu:

Seorang juru bicara di masa pandemi bukan hanya pembawa informasi.

Ia adalah pengendali emosi kolektif.

Ia adalah penahan gelombang panik.

Ia adalah titik terang di saat gelap terlalu pekat.


Setiap kali ia berkata “kita bisa melewati ini”, ia bukan hanya meyakinkan publik — ia sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.


Salah satu anggota satgas bercerita:

"Kami sering melihat tangannya gemetar sebelum siaran. Tapi ketika kamera menyala, ia berubah seperti seseorang yang ditakdirkan untuk berdiri di sana."


Dalam badai yang tidak mengenal belas kasihan itu, dr. Aris adalah jangkar yang tidak terlihat — namun sangat dirasakan.


Kini, ketika badai telah mereda, ia berdiri di persimpangan yang berbeda


Permohonan amnesti untuk dr. Aris kini tengah memasuki kajian pemerintah di bawah Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra.

Namun bagi keluarga, rekan sejawat, jurnalis, dan masyarakat yang dulu menunggu setiap ucapannya, ini bukan hanya perkara hukum.


Ini adalah pengingat.

Bahwa di masa ketika dunia lumpuh, ada seorang juru bicara yang rela berdiri di garis depan risiko komunikasi publik — sebuah medan yang kerap lebih sunyi namun lebih tajam dari medan apa pun.


Permohonan amnesti itu bukan permohonan untuk melupakan… tetapi untuk mengingat


Mengingat bahwa ia pernah menjadi suara yang memegang tangan masyarakat saat rasa takut hampir menelan semuanya.

Mengingat bahwa ia pernah menjadi wajah yang menegakkan keberanian ketika semua ingin menyerah.

Mengingat bahwa perannya bukan sekadar membaca data — tetapi menjaga satu provinsi dari kepanikan massal.


Di balik berkas permohonan itu tersimpan ratusan hari siaran, ratusan malam tanpa tidur, ratusan keputusan yang harus ia buat di tengah ketidakpastian.


Kini, setelah semua lampu konferensi pers itu padam, masyarakat bertanya:

Apakah negara mau mendengar suara yang dulu menenangkan kita semua?. pungkasnya.@red

Komentar

Tampilkan