Iklan

Iklan

TikTok Menjelma Menjadi Pengadilan Jalanan Digital, Biarkan Anak Pembunuh Jadi Tontonan, Negara Gagal Lindungi Korban dan Pelaku

24JAMNews
12 Desember 2025, 18:38 WIB Last Updated 2025-12-12T11:38:57Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

MEDAN | 24jamtop.com : Dua video TikTok yang secara vulgar menampilkan wajah seorang anak berusia 12 tahun, yang dituduh membunuh ibu kandungnya, adalah bukti nyata bahwa platform media sosial ini lebih mengutamakan algoritma viral daripada nilai-nilai kemanusiaan.

Ketua Yayasan Peduli Hak Perempuan dan Anak Junaidi Malik SH mengecam keras TikTok dan menuding negara telah gagal melindungi hak anak, baik sebagai korban maupun pelaku. Jumat (12/12/2025).
 
"TikTok telah menjelma menjadi pengadilan jalanan digital, di mana seorang anak 12 tahun dihakimi tanpa ampun oleh netizen yang haus sensasi".

Kasus ini lebih dari sekadar konten viral. “Ini perkara bagaimana sebuah bangsa memperlakukan anak yang baru berusia 12 tahun. Ia berhak mendapat perlindungan, bukan dijadikan tontonan untuk kesenangan publik,” Ujar Direktur Eksekutif yayasan tersebut dengan nada geram.

"Ini bukan sekadar pelanggaran etika, ini adalah kejahatan kemanusiaan yang difasilitasi oleh platform yang seharusnya bertanggung jawab".

Junaidi Malik SH menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun untuk menyebarkan identitas anak dalam kasus pidana. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012) jelas mengatur: anak berkonflik dengan hukum wajib mendapat pendekatan khusus dan identitasnya dilarang keras dipublikasikan.

“Tapi realitasnya?, Wajah sang anak beredar bebas di TikTok, menjadi santapan komentar publik yang kejam – tanpa memikirkan luka psikologis yang akan ia bawa seumur hidup,” ujar Junaidi.

Hal ini tentunya tidak dapat dibiarkan, "Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) telah dilanggar secara terang-terangan. Identitas anak yang berkonflik dengan hukum harus dirahasiakan, bukan diumbar untuk mendapatkan 'like' dan 'share'!".
 
Fakta bahwa video tersebut masih beredar luas di TikTok menunjukkan bahwa platform ini tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi dan perundungan. Lebih parah lagi, negara seolah membiarkan praktik ini terus berlangsung, tanpa tindakan tegas yang berarti.
 
"Negara telah gagal memberikan perlindungan yang seharusnya diterima anak ini. Ia bukan hanya seorang pembunuh, ia juga seorang korban dari sistem yang bobrok dan masyarakat yang tidak peduli," tegas Junaidi.

“Ketika publik menghakimi, negara harus melindungi. Dan ketika negara lambat bertindak, lembaga-lembaga perlindungan anak harus bersuara dengan nyaring,” tegas Junaidi, mengarahkan kritik tajam pada aparat dan platform sosial.
 
PANGGILAN TINDAKAN KONKRET
Junaidi menyerukan langkah tegas tanpa penundaan:
  1. TikTok harus menghapus seluruh video yang menampilkan wajah anak tersebut segera – sebelum kerusakan lebih parah.
  2. ​Aparat penegak hukum harus menelusuri dan menindak penyebar awal konten itu sesuai UU SPPA dan UU Informasi dan Teknologi (ITE).
  3. ​Masyarakat dan media harus berhenti menjadikan tragedi keluarga sebagai komoditas viral.
 
“Kami memberi peringatan tegas: jika dalam 3 jam setelah berita ini ditayangkan, video masih ada dan penyebar tidak berhenti, kami akan langsung melaporkan mereka ke aparat,” tegasnya.
 
Advokasi ini tidak berhenti pada kritik. Yayasan Peduli Hak Perempuan dan Anak menawarkan keterlibatan langsung dalam pendampingan, rehabilitasi, dan dukungan psikososial bagi anak dan keluarga.

“Kepentingan terbaik bagi anak adalah perintah moral dan hukum. Kami akan terus bersuara sampai negara benar-benar hadir – bukan cuma bicara,” tutup Junaidi.
 
Kasus ini menjadi pengingat keras: di tengah derasnya arus digital, perlindungan anak tidak boleh berubah menjadi retorika belaka. Ada seorang anak 12 tahun yang nasibnya ditentukan oleh keberanian kita untuk menjaga martabatnya.@Yan
Komentar

Tampilkan